Merajut Hidup dengan Kerupuk
Kawasan
Epicentrum, Jakarta Selatan, memang terkenal dengan daerah perkantoran yang
berada pada gedung-gedung tinggi nan mewah. Tempat ini dilalui oleh para
pekerja yang lalu lalang setiap pagi dan sore harinya.
Namun,
pada sore hari, ada satu pemandangan unik di daerah tersebut. Bukan,
pemandangan itu bukan karena para pekerja pulang kerumahnya, melainkan terdapat
sosok suami-istri yang juga sedang mencari rupiah.
Suami-istri
tersebut bukanlah pekerja dari salah satu kantor yang berada pada gedung-gedung
mewah itu. Mereka adalah penjual kerupuk ikan tunanetra yang “berkantor” di
pinggir Jalan Epicentrum, tepatnya di depan Plaza Festival.
Pak Jono dan keluarga |
Ya,
pasangan suami-istri difable penglihatan tersebut bernama Nunung dan Jono.
Menikah pada tahun 2006, keduanya memutuskan untuk mejual kerupuk ikan yang Mereka
beli dari temannya. Usahanya itu tak lain tak bukan untuk tetap bertahan hidup
di kota yang katanya keras ini, yaitu Jakarta. Selain itu, keuntungan yang mereka
dapatkan juga dipergunakan untuk menyekolahkan sang buah hati, yaitu Clarissa,
yang saat ini sedang menempuh pendidikan tahun ke-2 di bangku Sekolah Dasar
Negeri 21 Menteng Pulo.
Dahulu,
pekerjaan Nunung bukan menjual cemilan garing itu. Pekerjaan utama perempuan berusia
41 tahun itu ialah seorang terapis pijat. Mayoritas pengguna jasa Nunung ialah
penduduk tidak tetap Apartemen Taman Rasuna. Namun, seiring dengan waktu,
pekerjaan tersebut mulai ditinggalkan. Nunung merasa pekerjaanya sudah tidak cukup
untuk membuat dapur menjadi ngebul dan
tidak bisa membuat anak bersekolah. Oleh karena itu, Nunung memutuskan untuk
menjual kerupuk ikan bersama sang suami.
Setiap
hari, dengan tongkat penunjuk jalannya, Nunung dan Jono menjajahkan kerupuk-kerupuknya
itu. Orang tua dari dua orang anak ini berjualan mulai dari berkeliling di
kawasan Menteng hingga berpangkal di depan Plaza Festival. Menunggu anak pulang
sekolah menjadi alasan mengapa pasangan suami ini memutuskan untuk berjualan
pada pukul 3 siang hingga pukul 10 malam.
Kerupuk
dipilih sebagai barang dagangan karena dianggap mudah dan praktis. Hanya
bermodal kepercayaan, teman Nunung mempercayai kerupuknya untuk dijual kembali
oleh Nunung. Setiap minggunya, Nunung mampu menjual 200-300 bungkus kerupuk dengan
omzet berkisaran Rp 500.000.
Setiap
jenis pekerjaan ada tantangannya, begitu kata kebanyakan orang. Kata-kata itu
juga berlaku bagi Nunung dan Jono. Tantangan terbesarnya ialah cuaca. Ketika
langit berubah menjadi abu-abu disertai dengan suara gemuruh petir, Nunung dan
Jono panik. Ia bingung ke mana mereka akan berteduh dengan bawaan kerupuk
sebegitu banyaknya. Kejadian ini sering menimpanya ketika sedang berpangkal di
Plaza Festival.
Kepanikannya
tak bertahan lama. Nunung dan Jono tampaknya dikelilingi oleh orang-orang baik.
Kesulitan-kesulitannya tersebut seperti diruntuhkan oleh tuhan dan digantikan
dengan kemudahan yang diberikan semesta. Ketika cuaca mulai tidak bersahabat
dengannya, mereka berdua bisa masuk dan berteduh ke lobi Plaza Festival. Ini
terjadi karena mereka mendapatkan izin dari “orang baik” untuk singgah di pusat
perbelanjaan kawasan Rasuna Said tersebut.
Penghasilan
dari berjualan kerupuk memang tak seberapa. Namun, Nunung harus pintar akal
agar uang tersebut mampu mencukupi segala kebutuhan Ia dan keluarganya. Tak
kenal lelah dan tak mau putus asa tampaknya menjadi dua kata yang menjadi
“pegangan” Nunung. Ia berpesan kepada orang di luar sana agar menjadi pribadi
yang bekerja keras dan jangan malas.
“Selama masih punya tenaga dan masih
sehat harus bekerja keras. Jangan malas-malas, masa Saya aja yang kaya gini mau
bekrja masa kalian gamau,”
Perjuangan
Nunung dan keluarganya seperti menjadi pengingat Kita. Tak boleh malas dan
bekerja keras menjadi dua kata “tamparan”bagi kita untuk tetap berjuang dalam
hidup yang diberikan tuhan “sempurna” ini.
No comments:
Post a Comment